Vertigo
Oleh Rahmat Setiawan
2011
Beri Aku Waktu
Coba mendengar bisikan angin, menderuh berbisik bersama rumput tanpa arteri, juga pun berdendang dengan cahaya malam. Bersama dia aku sudah terobati, seperti daun-daun yang bercerita sembari bertebaran lirih, menceritakan mimpi yang tak pernah terjadi, aku hanya ingin mendapatkan sedikit waktu bersama untuk sebuah kesempatan walau itu hanya beberapa detik bersamanya.
“Taf, Kok melamun saja?”
“Ah enggak kok Nda. He… malam sudah terlalu larut, kamu nggak dicari sama Ibu?”
“Aku sudah bilang kok kalau aku lagi dengan kamu.”
Dia adalah Winda, seseorang yang selalu menjadikan aku sahabat yang paling terdekat dalam hidupnya. Setiap ada dia, aku selalu ada untuk menjaga, menemani, walau tak berarti. Dan sekarang senyum yang selama ini kita tunjukkan sudah lama dan tak nampak dari tadi. Dia sangat terlihat tidak nyaman, bangun dari tidurnya serta menangis. Secercah bibir merekah, dia pun berucap tetapi setengah tertahan dan akhirnya berbicara.
###
Malam itu sangat dingin, terlepas dari rumah Pak Adam untuk sekedar berkonsultasi. Semester tujuh adalah masa yang terlalu singkat untuk menyelesaikan masa bakti kepada meja bangku kuliah, tapi kita bertiga sudah sepakat untuk segera mengakhiri kuliah di sini. Aku sedikit tergesa-gesa untuk beranjak pulang karena aku ingin menyelesaikan surat-surat untuk proses beasiswa ke Amerika.
“Nda, Bay, Pak, saya mohon izin pulang terlebih dahulu karena surat-surat saya belum lengkap.”
“Ya sudah tidak apa-apa. Hati-hati di jalan Taf.”
“Ini pakai motorku saja Taf, daripada kamu naik angkot.” Sahut Winda menawariku sebuah kebaikan.”
“Nggak usah Nda, nggak apa-apa.”
“Sudah, ini kuncinya, kembalikan besok. Biar aku meminta Bayu antar pulangku nanti.”
“Eh iya-iya. Biar Winda aku yang mengantar.” Jawab Bayu.
Malam sedikit meringis gerimis, rintik-rintik tetesan air hujan tak begitu deras. Aku melaju untuk segerakan sampai ke tempat kos. Di sisi lain, Bayu dan winda sudah terlalu larut untuk sekedar berkonsultasi di rumah Pak Adam. Jam menunjukkan jarum tajamnya ke arah angka 11. Sejam kemudian sudah akan berganti hari, mereka pulang juga akhirnya. Saat di jalan hujan semakin deras, mereka pun harus menggunakan jas hujan, tetapi saat itu Bayu hanya membawa satu pasang. Winda pun disuruh agar mengenakannya dan Bayu membiarkan dirinya basah kuyup diterpa dinginnya malam. Sesampai di rumah Winda, Bayu terlihat sangat kedinginan, dengan baju serta celana yang sudah basah kuyup, Winda merasa kasihan dan mengizinkan bayu untuk masuk sejenak. Saat masuk ke dalam rumah, ternyata orang tua Winda tidak sedang di rumah. Mereka meninggalkan surat untuk Winda bahwa mereka ke rumah saudara yang ada di luar kota. Di saat itu Bayu meminta izin agar di perbolehkan menginap kerena hujan dirasa akan membekukan tulang-tulangnya dan tak akan berhenti untuk menghunuskan tetesan-tetesan airnya. Winda agak keberatan, tetapi melihat kondisi Bayu yang seperti mayat, akhirnya dia pun mengizinkan. Malam semakin larut, Bayu meminta Winda agar mau menemaninya sampai ia terlelap. Terus terjaga, Dibisikkan oleh rasa dingin, Bayu meminta Winda agar memeluknya, sekedar mengahangatkan badannya yang sangat menggigil. Dengan sedikit memaksa, tarikan, dan Winda tak mampu menolak. Seperti sebuah ajakan yang diterima dan hal yang tak terpikirkan terjadi. Sebelum fajar menjemput, Bayu sudah tak ada di rumah, semua jaringannya terputus, entah mengapa atau apa, siapa yang tahu kecuali dirinya dan diri-Nya. Sebuah kesedihan, kegelisahan, rasa bersalah yang mendalam, terbentuk dari raut Winda sesaat setelah mengetahui dia sudah melakukan hal yang tak diinginkan. Berhari-hari dihantui rasa bersalah sampai akhirnya mengetahui bahwa dia sedang mengandung.
###
“Gustaf, aku minta maaf selama ini.”
“Apa yang kamu bicarakan?”
Seperti mendengar sebuah kejutan, meledak bersama rasa terkejut, membeludak dalam aliran darahku.
“Siapa yang melakukannya? Siapa Nda?”
“Kamu tak perlu tahu?”
Aku beranjak, diselimuti malam dan hawa yang mencekam. Tangan Winda menarikku, menahan, dan mencoba membuatku sulit untuk pergi. Aku hanya ingin bertanya pada Bayu. Akupun mengantarnya pulang setelah itu aku mencoba menghubungi Bayu tetapi tak ada kata tersambung, aku berlari menuju ke tempat kosnya tetapi tak ada. Perasaanku sudah sangat kacau, terlebih pikiranku sudah berkeping menjadi hancur. Perasaan yang selama ini kurasakan berubah seluruh menjadi rasa bersalah karena aku hanya ingin mejaga Winda, menjaga dan akan terus menjaga. Rasa bersalah akan kegagalan menjaga dia membuatku hancur. Aku tertidur oleh rasa peming ini dan sinar pagi membangunkan lelapku, aku tersadar begitupun kesadaranku akan sesuatu yang menerpa Winda. Bergegas ke rumah Winda. Sesampai di rumah Winda, terdengar suara tamparan. Tak sempat aku mengetuk pintu, terdengar suara tubuh terhempas jatuh, di balik pintu itu juga aku mendengar suara amarah dari ayahnya disertai tangis dari ibunya. Berpikir panjang, sangat panjang dan membuat otakku hampir mencuat meledak. Aku langsung memberanikan hatiku untuk masuk dan mengakui apa yang tak pernah aku lakukan.
“Saya yang melakukannya.” Terhenyak seperti sebuah pukulan telak pada mereka, Winda pun terkejut. Seolah tak mengerti apa yang aku pikirkan.
“Bukan, bukan dia.” Bantah Winda dengan tangisnya.
“Saya yang telah melakukan kesalahan pada putri bapak, dan saya yang akan bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi pada Winda. Saya akan menikahinya.”
Mendengar perkataan itu, ayah Winda melepaskan tamparan keras dengan mengumpat. Aku hanya mampu diam, darah menetes dari ujung bibirku. Mencoba memberi tamparan kedua tetapi ibu Winda menahan sembari menahan, seolah tak percaya.
“Sudahlah pak, sudah. Semua sudah terjadi, lebih baik kita nikahkan saja dari pada semua orang akan bertanya siapa ayah dari anak yang dikandung Winda.” Terisak suara tangis dari ibu yang sabar ini.
“Lebih baik kau persiapkan pernikahanmu, segera, di sini! Setelah itu aku tidak akan mengurus apapun yang terjadi pada kalian. Dan anak itu, bukan cucuku selamanya!!! Kita pergi bu, tidak perlu menangisi anak biadab seperti ini.” Berkata dan meninggalkan aku dan Winda. Aku menolong Winda yang sudah tak berdaya, dengan setengah sadar dia berkata.
“Mengapa kamu lakukan ini?”
Aku hanya dapat tersenyum dan berkata.
“Sudah, sekarang kamu jaga diri, aku mengerti kamu tidak dan tidak akan pernah mencintaiku. Karena kamu hanya menganggap aku sebagi sahabat, tak lebih. Aku juga mengerti, kamu mencintai Bayu. Aku hanya ingin menebus kesalahanku yang gagal untuk menjagamu.” Senyum kecut yang aku paksakan walaupun hatiku perih menahan.
“Kamu sudah mengerti dan tahu kalau aku tidak mencintaimu Taf. Aku tak akan mencintai sahabatku sendiri, tak pernah dan tak akan pernah. Biarkan aku sendiri, aku mampu mengurus anakku sendiri.”
“Apa dengan tidak mau menikah denganku, serta perut kamu yang semakin lama semakin buncit, apa kamu dapat bersembunyi dari berbagai pertanyaan orang-orang terus-menerus? Aku hanya ingin melindungimu, mengertilah!” Aku pergi, penuh penyesalan dan tak terobati. Sesampai di tempat kos, tak sempat mandi, hanya membereskan pakaian-pakaian dan segera pulang ke rumah.
“Mbak, aku tidak jadi pergi ke Amerika setelah lulus. Aku sepertinya mengambil cuti kuliah.”
“Kenapa? Apa kamu tak mengingat almarhum Bapak dan Ibu dan sekarang aku yang bertanggung jawab atas dirimu.”
Aku berangkat dulu mbak, aku bisa menjaga diri dan akan mencoba yang terbaik. Mengambil semua keperluan yang diperlukan dan pergi. Di dalam angkot aku hanya berpikir, meneteskan air mata, rasa bersalah karena tak mampu menjaganya membuatku seperti anak kerdil. Sesampainya di tempat kos, aku membereskan semua yang aku miliki. Sisa uang tabunganku hanya tiga juta, kuputuskan untuk mengontrak sebuah rumah. Kubatalkan beasiswa, dan kusamarkan masa depanku.
Hari pernikahanpun tiba, dalam kepura-puraan Winda terlihat sangat tersiksa. Aku memahami apa yang dia pikul, dan aku terbebani rasa bersalah. Seperti sebuah kenyataan pahit, aku yang mendambakan istri yang suci, sekarang harus menikah dengan sehabatku yang tak lagi suci karena aku tak mampu menjaganya. Tak ada undangan, dan tak ada kemewahan, sebuah pesta kecil penuh pertanyaan.
“Nah, ini rumah baru kita. Lumayan untuk tinggal walaupun tak sebagus yang kamu inginkan” Senyumku tak sekalipun membuatnya tersenyum. Menyerobot masuk dengan penuh keangkuhan. Aku hanya bisa tersenyum dalam rasa kecut. Aku hanya berusaha semampuku.
“Ini kamar kamu, dan aku akan tidur di dapur. Besok aku akan mencari kerja. Kamu kalau ada apa-apa nanti hubungi aku saja ya?” Sekali lagi tak ada jawaban.
Aku berangkat penuh cobaan, mencari pekerjaan yang aku mampu, tetapi tak ada satupun yang menerima ijazah SMA yang aku miliki. Tetapi aku harus tetap mencari dan mencari karena aku harus bertanggung jawab atas istriku. Sampai akhirnya aku diterima bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran.
“Nda, aku sudah dapat pekerjaan dan ini ada sedikit rejeki.”
“Dapat dari mana? Kok banyak?”
“Oh, ini ada sisa besiswa yang semester kemarin. Kamu pakai saja, siapa tahu ada keperluan ini dan itu” Uang tabungan yang aku simpan untuk membeli motor sejak semester satu, aku luangkan untuk mengontrak rumah ini dan sisanya aku berikan untuk keperluan istriku.
Hari berganti hari, tetapi tak sekalipun aku menyentuhnya, aku merasa tak dikenal. Tidur di atas tikar yang terpisah, penuh dingin dan hanya berlapis sarung. Itulah yang aku jalani, tak ada kasih apalagi cinta. Sampai akhirnya suara ketukan pintu terdengar. Aku sangat terkejut ketika melihat orang yang datang adalah kakakku.
“Dari mana kakak tahu aku tinggal disini?”
“Siapa Taf?” Tanya Winda penasaran.
“Ini istri kamu? Cantik juga, adikku sudah pintar ya.”
“Perkenalkan ini kakakku.”
“Silahkan duduk kak, aku Winda.”
“Sudah berapa bulan Wind?
“Sudah memasuki bulan ke tujuh.” Kamipun mengobrol penuh canggung, dan kaku karena kita selalu berpura-pura menjadi sepasang calon orang tua. Kakak mengetahui aku dan Winda dari kabar orang tuanya Winda. Kakak tak pernah marah kepadaku, walaupun aku seperti ini. Winda pun meninggalkan kami berdua dan kakakku mulai bertanya lebih pribadi kepadaku.
“Apa benar kamu melakukan hal itu pada istrimu?”
“Mengapa bertanya seperti itu?”
“Kakak tak pernah mengajarkanmu untuk memberi pertanyaan balik ketika diberi pertanyaan?”
“Bukan.” Jawabku lirih.”
“Siapa yang melakukannya?”
“Aku tak tahu, Winda belum pernah mengatakan dan sangat marah jika aku bertanya hal itu.”
“Aku sudah yakin, kamu hidup dengan kakak sudah dua belas tahun, saat orang tua kita meninggal dan pada saat itu kakak masih SMA dan kamu belum genap setahun di SD. Senakal-nakalnya kamu, kamu tak akan melakukan hal itu. Lantas apa yang membuatmu berani mengambil resiko ini? Apa dia mencintaimu?”
“Aku hanya ingin menebus kesalahanku, aku tak mampu menjaganya. Dia tak mencintaiku, tak pernah dan tak akan.”
“Lantas apa? Kamu juga tahu kalau dia tak mencintaimu? Lantas apa?” Diserbu oleh banyak pertanyaan membuatku berkata dengan tegas.
“Karena aku mencintainya.” Jawabanku membuat suasana menjadi hening sesaat.
“Tapi kamu juga tahu kan? Kalau dia tak mencintaimu? Terus apa yang membuatmu yakin untuk melakukan ini?”
“Aku hanya ingin selalu menjaganya, itulah caraku mencintainya, walau dia tak akan dan tak akan pernah mencintaiku, tapi aku akan sangat bahagia melihat dia tersenyum dan terjaga. Melihat dia tersenyum membuat hatiku berbunga. Aku ingin menjadi bintang di hatinya, walaupun kecil, tetapi aku dapat menghiasi gelapnya.”
“Apa dia tahu kalau kamu mencintainya?”
“Aku harap belum.”
“Mengapa?”
“Karena dia akan lebih membenciku lebih dari ini. Dia tak menginginkan aku lebih dari sahabat. Bahkan setelah kita tinggal disini, selama ini aku tak sekalipun aku menyentuhnya. Membuatnya merasa nyaman sudah membuatku tenang. Aku hanya ingin dia membiarkanku mencintainya. Kalau suatu hari kita akan terpisah, aku ingin dia memberiku sedikit waktu untuk mngatakannya.”
Tak jauh dari balik pintu kamar, Winda sedang mendengar pembicaraan kita. Tangisnya pun seperti sebuah penyesalan. Sebuah hal yang tak sekalipun ingin aku dia tahu. Kakakku berpamit untuk pulang dan memberikan kita sebuah sebuah amplop berisikan 30 juta. Dia hanya mengatakan “Gunakan ini untuk berlibur ke Amerika, aku tahu kamu sangat membutuhkannya dan anggap sebagai hadiah atas pernikahan kalian.”
“Apa itu?” Tanya Winda.
“A..anu.. uang dari kakak. Dia meminta agar digunakan untuk liburan ke Amerika.”
“Kamu bagaimana Taf?”
“Terserah kamu dan kamu juga tak…”
“Ayo kita berangkat. Tapi setelah bayi ini lahir ya dan juga manjakan aku ya…” Pintanya dengan manja membuatku hatiku melompat terbang melayang.
“I…I…Iya.” Senyum dari bibirnya yang sangat membuatku bahagia.
“Gustaf, besok pagi antarin aku ke pasar ya, soalnya si bayi sekarang sering nendang-nendang.” Pintanya yang membuatku sedikit terkejut.
“Oh…Oh…Iya, pasti. Pasti akan aku antar.” Hatiku berdecak kegirangan, dia memintaku menemaninya. Satu hal yang sangat membahagiakan dalam hidupku, aku tak mampu berhenti tersenyum. Dalam hati penuh sumringah, mekar bersama senyum bahagia. Pagi pun tiba, kita berjalan sambil menghirup udara segar pagi, kita bercanda seperti dulu, sesuatu yang sangat aku rindukan. Dari arah selatan ada sebuah becak akan melintas, aku sedang menawar sayuran, Winda tak nampak dariku. Dia sedang menyebrang untuk membeli tempe dan semua harapan hampir putus saat becak itu menjatuhkan Winda. Aku segera membawanya ke rumah sakit. Penuh cemas aku menunggu di luar ruangan, sampai terdengar kabar dari Bu Dokter.
“Kami sudah berusaha sekuat tenaga, kami ingin seperti apa yang bapak inginkan akan tetapi… Tuhan berkata lain dari apa yang kita harapkan. Anak laki-laki bapak meninggal di dalam kandungan karena hantaman benda keras, dan keadaan istri bapak sedang kritis. Bapak jangan mengatakan hal ini kepada istri bapak terlebih dahulu karena istri bapak mempunyai tekanan darah yang cukup tinggi. Ini akan membuat keadaan istri bapak semakin parah.” Sebuah kabar yang sangat memukulku. Aku tak kuasa menahan tangis. Kutangkupkan kedua telapak tanganku menghapus dan menutup wajah yang dipenuhi air mata.
“Bapak silahkan menemui istri bapak sekarang.”
Di dalam kamar Winda terbaring lemah tak tersadar.
“Nda, ayo bangun. Kamu pasti bisa melewati ini semua. Aku mengenalmu sebagai wanita yang sangat kuat, kamu pasti bisa. Ayo sayang…” Air mataku jatuh membasahi wajahnya dan terdengar secercah suara lemah dari bibirnya.
“Gustaf, bagaimana keadaan anakku?”
“Iya…iya…dia ganteng seperti Hmmm… Seperti…. Seperti Bayu… Matanya juga manis seperti ibunya.” Dia memegang tanganku dan meremasnya erat.
“Gustaf, jangan panggil Bayu lagi, dia bukan teman kita dan maaf… Kalau aku belum bisa mencintai kamu.”
“Tidak apa-apa Nda, kamu semangat untuk sembuh ya.” Walaupun kecewa tetapi aku tak begitu memikirkannya, aku lebih mengkhawatirkan kondisi kesehatannya. Tetapi semua terlewati, dokter sempat memberitahukan bahwa Winda memiliki masalah pada ginjal dan harus segera diganti, beruntung ada penyumbang ginjal yang rela melakukannya untuk Winda.
“Dok, siapa yang menyumbang? Aku ingin mengucapkan terimah kasih.”
“Laki-laki pak Gustaf, saya kurang tahu karena dia hanya mengatakan ingin memberikan ginjalnya untuk pasien diruang 127 tanpa boleh diketahui identitasnya.”
Aku tak mengenal, bahkan tak mengerti, tetapi kesembuhan istriku semakin nampak. Beberapa hari dirumah sakit berlalu dan akhirnya datang juga saat di mana aku harus memberi tahu bahwa bayinya sudah tiada. Aku tak kuasa menahan tangis saat memberitahukannya, begitupun dia. Sangat terpukul, dia selalu menyalahkan aku lagi, aku selalu menjadi lumbung kesalahannya. Padahal aku hanya mampu melakukan semampuku yang kurasa terbaik untuknya. Dia menangis dalam pelukanku seolah tak percaya.
Dua tahun berlalu begitu saja, aku selalu mencoba menghibur dia, selalu dan akan terus berlalu. Hidup dengan rasa bersalah dan terbebani, aku terlihat kacau dan tiba-tiba Winda meminta.
“Gustaf, uang untuk liburan kita ke Amerika masih ada kan?”
“Eh.. Iya ada kok.”
“Ayo, kita kan belum bulan madu.” Suatu hal yang tak akan aku lupakan, momen yang sangat aku impikan, dia menganggapku ada sebagai suaminya.
Kita berwisata di berbagai tempat. Tanpa tersadar kita berpegangan tangan, entah siapa yang memulai. Aku hanya mampu membantu melepaskan bebannya hingga suatu malam di sebuah motel di Seattle, dia memintaku untuk menemaninya tidur di sampingnya. Di saat itu aku di perbolehkan untuk menyentuhnya layaknya suami istri.
“Apa kamu masih mencintaiku?” Tanya Winda jelas sebelum kita melakukan aktifitas.
“Pertanyaan kamu sangat bodoh, tak perlu kujawab dan kamu sudah tahu. Aku sangat mencintaimu dan akan selalu mencintaimu.”
“Aku sekarang sudah siap untuk mencintaimu.”
Kita sudah seperti suami istri dan memang kita suami istri tiga tahun lalu. Dia juga memutuskan untuk mencari pekerjaan, dan akhirnya dia diterima sebagai pelayan di sebuah restoran China. Karena kemampuan memasak, dia diangkat sebagai kepala koki begitupun aku, kemampuan bahasa Inggris-ku menarik minat dari kepala restoran untuk menempatkanku sebagai Guest Contact. Sepuluh tahun berlalu, kita sudah membeli rumah sendiri walaupun mencicil dan tak besar, juga motor dan sedikit perabotan. Tetapi, kita belum juga di karuniai seorang anak. Aku merasa frustasi, aku merasa masih belum mampu membuat Winda bahagia. Kita akhirnya menkonsultasikannya kepada dokter, apa yang salah dengan hubungan kita.
“Pak Gustaf, sebenarnya tidak ada masalah ataupun penyakit yang mengganggu hubungan bapak dan ibu untuk mendapatkan keturunan. Tetap berusaha saja, dan bapak seharusnya lebih tenang dan jangan terlalu tegang. Hubungan yang rileks akan membantu bapak dan ibu. Tetap berusaha dan berdo’a.” Saran dokter sedikit memberiku semangat. Memang saat aku menyentuh Winda, ada perasaan yang berbeda yang aku rasakan, aku terlalu menjaganya dan takut akan menyakitinya. Hal itu yang membuatku sedikit kaku dan canggung. Beberapa bulan dan akhirnya Winda terlambat datang bulan, sebuah kabar yang sangat menggembirakan bagi kita berdua. Berlama-lama bulan berjalan.
“Bapak, sekitar dua minggu lagi bayi bapak akan lahir, jaga istri bapak baik-baik. Hipertensiya dapat membahayakan kondisi ibu dan bayinya.” Dokter menasehati dengan saran yang sangat aku dengarkan. Kita beranjak pulang, sesampai di rumah Winda aku pinta untuk beristirahat karena malam sudah sangat larut. Saat yang sangat aku benci datang, yang kelak mengubah diriku menjadi tuan keji.
“Grrrrssssskkkkkkk…Gllldddkkk…Brrrkkk”
“Maling…Maling…!!!” Aku terbangun dari kursi. Winda berdiri sambil memegang perutnya, dan pintu serta berteriak. Aku mencoba memukul maling-maling itu akan tetapi mereka lebih jago dalam hal kontak fisik, terkapar tubuhku terebah di lantai. Istriku disekap dan tak mampu berucap apalagi berteriak. Akan tetapi Winda tetap berontak sehingga maling itu mengunuskan pisau tepat cepat di perut Winda. Di depan kedua mataku, maling itu mencuri kebahagiaan yang aku miliki satu-satunya. Sepuluh tahun aku membangun kebahagiaan dan cinta dari Winda, sepuluh tahun kita mengharapkan bayi dari hasil hubungan kita, semua sirna hanya dalam hitungan menit. Mereka kabur dengan terbirit-birit. Tak terasa lagi denyut nadi dari Winda, aku menangis, memeluknya erat. Kugendong dengan segera, begitu tergopoh berlari ke rumah sakit, memaksakan takdir yang sudah berbicara. Dokter tak mampu berbuat lebih banyak dari sekedar harapan. Kekecewaanku, kesedihanku, kebencianku, semua teraduk dalam dendam. Aku sangat marah, aku sangat membenci orang-orang seperti mereka. Tak pernah menghargai arti hidup dan kebahagiaan. Setelah pemakaman, aku menjadi orang yang sangat membenci orang yang tak menghargai hidup. Setiap orang yang bertingkah seperti anjing-anjing tak berotak dan berakal sehat, akan aku habisi dengan kusiksa sampai mati. Dengan seperti itu, hidup akan terasa lebih ada untuk dihargai.
Bukan Hanya Dia
###
“Bro, barang baru?”
“Ini, cepat. Aku harus pergi.” Lelaki beranjak dengan motor tuanya, berselimut jaket kulit, bersepatu gelap pekat, dan terlihat tato. Seperti yang sudah teramati sedari tadi, makan di restoran.
“…” Tak lama setelah itu, kudekati, kusumpal mulut busuknya, penuh hantaman di kepala, dan kuseret menuju hutan. Di sini aku ingin bersenang-senang saja. Terbangun, sedikit mengobrol, dan terhanyutlah dia.
“Kamu siapa? Apa gerangan yang anda ingin lakukan?”
“Nada sedikit menekan, pasti tertekan karena belum terbiasa, logat daerah Sulawesi tak mampu kamu sembunyikan, ke Jawa hanya untuk mencari istri karena kam merasa tertantang, akan tetapi wanita Jawa tak semudah itu, pasti dia menyelingkuhimu, dan ini hanya pelarian. Mungkin sedikit yang kamu tahu, alat kelaminmu yang kecil, tak mungkin sanggup memuaskan hasratnya, apalagi ada bekas luka di sana, tak hanya tak tertarik, wanita itu bahkan hanya ingin kamu cepat selesai dan fasilitas. Satu lagi… Istrimu pasti sudah berselingkuh dengan rekanmu, ingat setiap kamu keluar dia pasti selalu bertanya berapa lama kamu akan keluar.”
“Apa maksud dari ini?”
“Sedikit berbincang saja. Ceritakan sedikit kisah kecilmu masa lalu!?
“Untuk apa?”
“Apa kamu tak ingin menyelesaikan beberapa batu sandunganmu?”
Terdiam penuh renungan, seperti menyesal tapi tak tahu seperti apa dia mengekspresikan raut mukanya. Kutinggalkan sebuah golok dan memberikan selembar surat, bukan dari istrinya tetap seolah-olah istrinya yang ada dalam secarik itu.
Begitu, dan terus berlalu. Begitu seperti orang tak waras, beberapa orang diberitakan mati dalam bunuh diri, tak jelas apa dan mengapa. Tersiar dalam tersirat dan gumaman, orang-orang bukan hanya melalui surat kabar, dan surat yang tak dikabarkan dengan jelas.
###
Bekerja sebagai Guest Contact membuatku mengerti bagaimana berbicara, menghadapi berbagai macam orang. Bahkan aku sedikit mampu mengenali kehidupan serta karakter dari orang itu. Berbagai macam orang sudah membuatku mempunyai kemampuan seperti itu. Sesekali melihat keluarga yang bahagia membuatku benci, dan hanya satu nama yang ingin aku cari.
“Gustaf Wijaya?” Sapa seseorang yang tak asing tapi belum terkenal oleh diriku. Tercengang dan dia berkata lagi.
“Aku Ardiansyah Putra, teman kamu SMA.” Berlama-lama aku mengingat dan akhirnya aku secara samar mengingat.
“Oh… Putra.” Mengamati, mulai dari lekuk tubuh terbawah sampai teratas. Ada tahi lalat di sebelah bibir, mata sayuh seperti terlihat pemakai, dan gelang karet bercorak zebra. Tak salah lagi…
“Putra, kamu kerja di mana sekarang? Apa kamu sudah mendapatkan Donita?” Candaku penuh dengan tawa.
“Bisa-bisa saja kamu Taf. Aku sudah menjadi dokter ahli bedah dan psikiater di rumah sakit. ”
“Selamat-selamat Pak Dokter Putra.” Kita tertawa dalam rasa kangen yang sudah lama tenggelam. Dia adalah sesesorang yang membuatku dekat dengan almarhum istriku. Donita adalah cewek yang diidolakan dari dulu, dia seorang gadis biasa tetapi mempunyai tingkat kedewasaan yang tinggi, hal itulah yang membuat teman gantengku ini kepincut. Tetapi selalu tertunda tak tahu dengan sebab apa karena itu bukan ceritaku. Menjadi seorang dewa di pelajaran Biologi, membuatnya jadi idola guru Biologiku pada saat itu. Winda yang pada saat itu pecinta fisika, dan The Lost Boy yang mahir matematika, membuat mereka menjadi tim yang solid di setiap perlombaan IPA. Akan tetapi kemampuan tiap orang mampu disamakan, tetapi keberuntungan yang tak akan dapat disamakan. Keangkuhannya adalah sifat dasar laki-laki, dan hal itu yang membuat Winda selalu bercerita tentangnya dan akhirnya menjadi dekat denganku. Sedangkan Donita yang merupakan temanku SMP selalu mempercayaiku untuk menjaga rahasia bahwa dia suka dengan Putra. Aku hanya mencuri-curi kesempatan agar Putra yang terkenal berharga diri tinggi itu mau mengatakan perasaannya yang sengaja dipendam. Dengan itulah kita menjadi dekat.
“Dengar-dengar, kamu nikah dengan Winda? Punya anak berapa? Kamu tidak mengabariku, kalau tahu begitu aku pasti akan membelikan kalian obat kuat.” Bercanda seperti dulu. Mendengar pertanyaan itu membuatku sedikit tersenyum.
“Dia sudah meninggal beserta bayiku.”
“Oh… Maaf Taf. Aku turut berduka.”
“Kamu bagaimana?”
“Aku dan Donita dikaruniai dua orang Putra, Satu kuberi nama Gustaf dan satunya Winda.”
“Lho? Ada-ada saja kamu Put. Apa tidak ada nama nama yang lebih keren?” Sambil memukul lengannya penuh gurau.
“Gustaf itu permintaan Donita sedangkan Winda itu permintaan Bayu.”
“Bayu?” Mendengar satu nama itu di telingaku, menjadikanku naik darah, tetapi penuh dengan ketenangan. Kebencianku tak lain karena dia menghilang di saat kita membutuhkan tempat untuk bercerita dan berpeluh kesal. Tetapi dia menghilang entah dimana.
“Semoga anakmu ini menjadi astronot seperti cita-cita Winda. Itu pesan dari Bayu. Sedangkan permintaanku agar anakku ini bisa berbudi baik dan menguasai bahasa Inggris layaknya kamu teman.”
“Bayu tinggal dimana?”
“Kurang tahu, kamu lebih tahu daripada aku. Lupakan! Pesan apa Put?”
“Di bawa pulang saja, Gurami Bakar dan Ayam Goreng.”
Pembicaraan kita akhirnya dihentikan oleh perpisahan. Tetapi aku sebelunya sudah meminta nomor dan meminta agar Putra mau meminjami beberapa buku.
Saatnya pulang, tak jauh dari belakang restoran terdengar keras dan menggema. Suara wanita, penuh duka dan ketakutan. Diiringi para penonton lorong kota seperti kucing liar dan tikus-tikus kota, tangis wanita itu penuh isak bersama malam tak berbintang itu.
“Tolong..tolong...” Seorang wanita yang sedang dalam dekapan-dekapan bajingan tengik penuh nafsu. Setelah keluar dari pintu belakang, dengan perlahan sembari menghisap rokok, kudekati dari belakang tengik itu. Aku bertopeng boneka beruang, bersarung tangan pink. Dengan sebuah linggis, kuhempaskan langsung seketika mereka kusapa “Hi Guys”, tetapi mereka belum pingsan. Selesai, selesai dengan terbirit-birit. Wanita sepi, tertinggal olehku, tak tahu dan tak bertanya.
Berlama-lama hari berlenggak-lenggok, terdengar suara peluit polisi menghentikan seseorang, mencoba mencari-cari kesalahan. Tak jauh dari sana aku berada dan mengamati, pemuda itu lengkap, mengenakan helm standart, lampu menyala, dan tak ada kesalahan apapun yang terlihat. Pemuda itu mengambil uang dan memberikan uang pada polisi. Uang itu dimasukkan ke dalam saku polisi itu. Dalam hati ku berteriak “Bangsatt!!!”. Kucari tahu dimana anjing berseragam itu tinggal, setelah semua hari berakhir malam pun hadir kembali. Mobil polisi itu terparkir dan terjaga. Setelah menunggu sembari bermain kata dengan lidahku sendiri, berbicara dengan diriku sendiri, lampu ruangnya padam. Pasti mereka terlelap, aku hanya berniat untuk menyekap laki-laki itu tanpa menyakiti secara fisik keluarganya. Kulempar jendela kamarnya dengan batu kecil, tak lama kemudian dia keluar sendiri. Langsung saja dari arah belakang kugasakkan kayu ke tengkuk lehernya, pingsan, terjatuh, dan bersiap untuk menikmati penderitaan yang mungkin akan dia sesali. Setelah sampai di hutan, kusiramkan air agar terjaga.
“Ingin rokok?” Ini pakailah.
“Cuih…”
“Kamu di sini bukan sersan, komandan, ataupun lintah-lintah jalan raya lainnya. Kita di sini sama, ciptaan tuhan, dan tak ada beda.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Aku hanya ingin kamu menikmati hidup tanpa mengangkangi hidup orang? Kamu ingat orang yang kamu palak tadi siang? Hidupnya sudah susah dengan ditinggal istrinya selingkuh serta tabrak lari terhadap anaknya dan kamu seenak matamu saja membuat hidupnya lebih susah.
“Apa urusanmu?”
“Sejak kapan kamu suka mengambil hak orang-orang yang di bawahmu? Hidup ini sederhana, tetapi tak sesederhana otak hewanmu itu. Ada bekas luka gores yang tak hilang, mungkin sekitar 20 tahun lalu, ayahmu bukan seorang yang baik, kekerasan adalah jalan yang dilakukan pada ibumu. Tuntutan menjadi polisi, sangat kasihan, aku yakin kamu mempunyai pa yang lebih dari seorang polisi. Dari kecil, kesusahanmu membuatmu dendam, dan terbalas pada yang susah. Terkadang aku tak habis pikir, mengapa kita tak menghabisi hidup kita saja jika hidup kita susah. Tetapi dengan adanya keadaan seperti itu maka muncul cerita antara si kaya dan si miskin, si bermartabat dan si jelata dan cerita-cerita lainnya. Boleh aku duduk di sampingmu?” Dia seperempat sadar, mulai tak waras dan sedikit membuka kelopak mata. Aku pun duduk dan melanjutkan pembicaraanku.
“Aku mengerti hidupmu dari kecil sudah tertekan, kamu hidup dalam keterbatasan dan mungkin kamu mempuyai pengalaman yang buruk dengan aparat kepolisian atau mungkin pernah terenggut oleh pungutan liar? Bagaimana jika kamu masih dalam keadaan seperti pada saat itu, seperti orang tadi siang? Ha… Itu hanya masa lalu, sekarang semua keinginanmu sudah terpenuhi, tercapai dan aku lupa ucapkan selamat. Istrimu cantik juga, aku tidak akan membunuhmu. Setelah ini kamu juga akan membebaskanmu. Tapi sebelumnya aku ingin memberitahumu, tangan kirimu sudah tak ada, kakimu juga mungkin sudah lumpuh, jadi apa mungkin kamu tetap berlagak dan dihormati seperti perwira-perwira lainnya? Apalagi istrimu cantik, masih muda dan menurut kabar ada anak buahmu yang disukai oleh istrimu. Apa kamu tak mendengar kabar itu? Aku mengenal anak buahmu itu, karena dia adalah temanku. Dia bercerita bahwa dia sudah sering meniduri istrimu, bahkan seminggu sekali saat kamu kerja. Kasihan kamu Pak. Sekarang aku hanya ingin kamu lebih menghargai hidup, ini ada segelas air putih untuk menyegarkan kembali hidupmu, ini selaras golok yang sangat tajam untuk membunuhku. Sekarang aku akan melepaskanmu.” Aku pergi, berjalan pelan meninggalkannya, tak terlalu jauh dan sangat dekat, dari belakang terdengar suara jeritan keras. Terjatuh, dalam hunusan golok pegangannya, tangan terhujam di dalamnya, menuntun ke surganya. Akhir dari keputusan, tak tersengaja, hanya sebuah sikap yang sudah terketahui, tak ada pembunuhan tetapi hanya sebuah pilihan.
“Nice Choice.” Ucapku lirih bersama nyawa melayangnya.
Berhari-hari berlalu…
Sebuah paket kiriman, berupa data-data dan semua penyelewengan dari seseorang poisi yang telah hilang.
“Bu Rizta, kita akan segera menemukan pelaku itu. Ibu harap bersabar.” Dengan penuh penasaran, kepala polisi itu terheran dengan kematian para buronan dan terakhir mengungkap kasus korupsi di kepolisian oleh anggotanya.
“Baik Pak, saya akan menyampaikan peasn itu pada Bu Hermita.”
Aku melaju melewati kantor kepolisian, terlintas terlihat kakakku keluar dari kantor itu. Aku membantingkan setir dan mendekatinya.
“Mbak? Mbak Rizta?”
“Gustaf?”
“Benar ini Mbak Rizta kan? Aku kangen kamu Mbak.”
“Gustaf kamu kemana saja? Kakak cari kamu ke kontrakanmu dulu tetapi sudah tidak ada. Kamu tinggal dimana? Kerja dimana? Istri dan anakmu?” Kita bercerita panjang lebar, dalam mobil kita melepas rindu tak terasa rumah kakakku sudah dekat dan sampailah. Aku terdiam dan kaku. Tak mampu berkata apalagi berucap. Pikiranku mulai sakit, tak terbangun dan tak tersadar sampai pukulan kakakku di lengan terasa.
“Jangan melamun, kakak membencimu saat kamu melamun.”
“Ah… Bukan.”
“Mekanisme pertahanan.”
“Selalu.”
Memarkirkan mobil, terlihat mobil yang sudah kulihat sebelumnya, kaca pecah, dan suasana yang tak asing terhenyak. Lagi, melamun, tak habis untuk berpikir bahwa yang kubunuh adalah suami kakakku. Memasuki rumah dan aku sangat sedih serta kecewa. Mengapa kakakku memilih lelaki seperti itu.
“Kaca pecah?”
“Bukan apa-apa, lupakan.” Kakak terlihat lebih sabar dari sebelumnya.
“Dimas, ayo bangun. Ini ada paman Gustaf.”
“Anak yang sangat menggemaskan, ingin sekali aku memilikinya.”
“Gustaf, kakak minta kamu untuk tinggal di sini ya?”
“Terus rumahku? Bagaimana kalau kakak yang tinggal di rumahku, aku kan juga ingin membahagiakan kakak.” Candaku untuk mencoba menghibur kakakku.
“Baik, kakak akan kemasi barang-barang kakak besok.”
Setelah bermalam, aku membantu kakak membereskan rumah. Setelah semua sudah terberesi, kita berangkat ke rumahku. Rumahku tak begitu besar tetapi sudah cukup rapi.
“Gustaf, ada buku-buku tentang banyak hal? Sejak kapan kamu kamu belajar tentang apa yang sebelumnya tak kuketahui? Psikologi manusia juga? Ada-ada saja kamu Taf.”
“Sekedar baca.”
Seminggu sudah kakak tinggal bersamaku dan bersama Dimas. Dimas nyaman tinggal di rumahku, begitupun kakakku. Seperti menebus sebuah dosa, begitu lega walau sesaat.
“Pak saya melapor, sekitar seminggu yang lalu saya mau diperkosa, tetapi ada seorang bertopeng boneka beruang menolong keluar dari pintu belakang restoran. Tetapi dia terlihat sangat menakutkan Pak.”
“Apa yang dia lakukan?”
“Hanya menyelamatkan, tetapi dia terlihat ingin membunuh lelaki itu, tak tahu, sangat keji.”
“Baik terima kasih atas bantuannya bu.”
Hampir setiap hari aku membawa makanan pulang, sekedar untuk mengenyangkan dan membuat senang Dimas. Terulang kejadian di belakang restoran, seorang bajingan penuh ambisi dan nafsu mengganggu kenyamanan seorang wanita. Dengan topeng singa yang berbeda dari sebelumnya, kudekati dua pemuda itu. Tiba-tiba tanganku disekap dari belakang oleh sosok yang tak kuketahi. Kusodokkan kayu ke arah pusatnya, mereka menghubungi satu sama lain dan seperti halnya kode. Aku berlari melalui lorong ke lorong, di kejar berbagai orang, bersenjatakan pistol pelumpuh, seperti polisi nampaknya. Suara letupan pistol meledak-ledak dan aku hanya mampu berlari dan menghindarinya. Sampai Akhirnya aku tertembak di kaki, aku berpikir logis jika aku hanya berlari tak lama kemudian aku pasti tertangkap. Kulihat tak jauh ada seorang wanita, kusekap wanita itu, dengan mengancam aku dapat sedikit mengendalikan polisi-polisi itu.
“Tenang Gustav, kami tak akan melakukan apa-apa.”
“Hanya berlari mengejar?”
“Berbincang.”
“Berbohong di awal, tak akan terulang kedua.”
“Baik, lupakan, kita hanya akan bercakap-cakap.”
“Diam! Jika berani melangkah akan aku bunuh wanita tak bersalah ini. Turunkan senjata kalian!” Dengan sedikit mengancam, aku bergerak menjauhi mereka. Dengan luka tembak di kaki aku mencoba kabur akan tetapi terdengar suara dari kejauhan, terlihat sesosok yang tak asing lagi. Langkah sayuh bergerak ke depan.
“Gustaf Wijaya.”
“Bayu?” Tersimpan di pikirku, aku menoleh dan ternyata benar.
“Jika kau tetap kabur, aku tak akan memberi tahu siapa yang menjadi ayah dari anak Winda.”
Mendengar kata-kata seperti itu membuatku tersentak dan aku tak mampu pergi. Wanita itu kulepaskan dan kudekati Bayu. Semua senjata diarahkan, bayangan aku seolah-olah penjahat.”
“Turunkan senjata kalian.” Perintah terkoar.
Sembari berjalan aku bertanya kepadanya.
“Siapa yang sudah menghamili sahabat kita?”
“Jikapun kau tahu, kau akan melakukan apa?”
“Aku hanya ingin dia meminta maaf kepada Winda… Dalam liang lahat.”
“Bagaimana jika aku yang sudah menghamili istrimu?”
Sangat panas mendengar perkataan seperti itu, begitu tak percaya.
“Aku yakin kamu tak akan menghamili sahabatmu sendiri.”
“Semua terjadi begitu saja.”
Hatiku benar-benar sudah tertutup dengan perasaan marah. Kuayunkan pukulan keras ke arah wajahnya. Tetapi aku hanya dapat mendengar suara letusan-letusan pistol, di lengan, kaki, dan tangan. Aku terlumpuhkan hingga tersungkur di tanah.
“Anjing kamu Bay!”
“Aku akan meminta maaf kepada Winda di makamnya, setelah itu aku akan meminta maaf kepadamu.”
Aku ditangkap, tak berdaya, dan penuh dengan kesal. Penuh dendam dan yang ada hanya bagaimana cara agar dapat membunuh bajingan pengecut yang selama ini menghilangkan diri.
Kembali Bukan Mengulang
Aku membencinya, melebihi aku membenci pada perampok-perampok itu. Tak hanya dia tetapi hatiku, bukan hanya aku tetapi sikapnya. Ternyata aku hanya seperti mencari aku sendiri, tak akan sampai apalagi ditemukan. Ini seperti bukan penjara, tak ada jeruji ataupun alas tanah. Tubuhku terikat, di atas tumpukan nyaman di punggung. Kulihat Bayu sedang duduk di sampingku, aku mencoba berontak menggapainya.
“He berani juga kamu ke sini. Anjing tak kenal martabat, lebih baik kau menjadi seperti kunang-kunang yang tak akan bertahan lebih dari semalam.” Dia hanya diam, tak membalas sekalipun ucapan-ucapanku tercetus pedas, dia terlihat tertunduk lesu, tak melihatku dan hanya duduk. Tiba-tiba Putra datang dan melepaskan ikatanku, bertanya, dan menjelaskan.
“Gustaf, kamu lebih baik tinggal di sini sementara.”
“Apa yang kamu maksud?”
“Apa kamu melihat Bayu?”
Aku menoleh ke arahnya tetapi Bayu pergi, kupanggil dan tak tertanggapi. Semua orang-orang berbaju putih datang dan mengikatku kembali.
***
Aku sudah berpisah dengan adikku, sudah tak mengingat berapa lama. Sekarang dia terlihat berbeda, tetapi dia adalah adikku. Satu-satunya yang aku miliki sebelum Dimas. Dia menyimpan banyak buku, dan suka membuat novel. Semua novel karyanya hanya bercerita tentang kesedihan, kekejaman, dan keputusasaan.
Dia selalu membawakan makanan enak di setiap pulang kerjanya, membuat Dimas senang dan nyaman bersamanya. Dimas sering tidur bersama Gustaf, bahakan sering. Sudah hampir seminggu, Diamas bercerita sesuatu.
“Ma, Kenapa paman suka berbicara sendiri di kamar? Aku selalu disuruh bermain dengan Bayu ketika paman menulis. Padahal tidak ada anak? Paman juga suka menunjukkan bagaimana membedah sesuatu seperti katak, cicak, dan kecoa.”
Mendengar itu dari anakku, sontak pikiranku langsung mengarah pada satu hal. Ketakutan itu datang, hanya telepon yang aku lihat, dan berpikir aku harus menghubungi psikeater lagi.
***
“Paranoid, penyakit yang membawa si penderita mempunyai rasa takut dan khawatir. Sikap paranoid yang berlebih yang tinggi sehingga menimbulkan halusinasi-halusinasi karya otak si penderita. Hampir tak mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak. Saya akan membantu adik ibu semampuku, sebelumnya ada hal yang ingin saya tanyakan.”
“Sebenarnya Gustaf sudah pernah mengalami ini, hal itu sudah terjadi sekitar tiga puluh tahun yang lalu, saat itu dia sedang duduk dikelas dua SD. Kita kehilangan orang tua pada pembantaian saat itu dan itu terlihat jelas di keempat mata kita secara langsung Gustaf terlihat sangat ketakutan aku segera menutup kedua matanya. Untuk ukuran anak seusia saat itu, melihat orang tua dibunuh secara sadis pasti akan berdampak buruk pada sisi psikisnya, tetapi aku tak pernah menyadarinya. Karena aku harus segera melupakannya dan menjadi tulang punggungnya. Aku mulai menyadarinya ketika dia memasuki kelas empat SD, selalu bercerita mempunyai teman akrab bernama Bayu, akan tetapi aku belum pernah sekalipun bertemu dengan anak itu. Terkadang di dalam kamarnya dia asyik bercerita dengan seseorang yang tak kuketahui, selalu bilang ada Bayu, ketika kutanya hanya terjawab kalau Bayu sudah pulang. Aku mulai khawatir, imajinasinya sudah lebih dari imajinasi ukuran seorang anak kecil. Kuperiksa data anak bernama Bayu di sekolahnya tidak ada, hanya ada Bayu anak yang sudah lulus empat tahun lalu dan sudah meninggal. Aku akhirnya memanggil psikoterapi, dengan uang simpanan orang tua kubiayai pengobatan Gustaf, seminggu enam kali pengobatan. Akhirnya, semakin lama adikku sudah tak mengenal Bayu.”
“Kapan anda terakhir kali tinggal bersama adik anda?”
“Sejak kuliah pada semester lima dia memutuskan untuk tinggal sendiri, mengajar privat, dan tak pernah pulang. Tetapi aku pernah mengunjunginya sekali ketika dia sudah menikah dengan Winda dan dia terlihat wajar seperti orang biasa.”
“Apa anda tahu kapan istri Gustaf wafat?”
“kurang tahu.”
###
Aku terlihat bingung, semua yang di sini seperti membenciku. Aku selalu melihat Bayu, tetapi dia selalu pergi. Bahkan ada anak kecil yang selalu melihatku, kemanapun aku pergi, anak itu mengingatkanku pada saat aku kecil. Suatu ketika, di malam yang gelap, Bayu datang dengan cara tiba-tiba, menghampiri, dan berbisik. Mengatakan kebohongan yang tak pernah ada, aku berusaha memukulnya, tetapi dia selalu menghindar, membuat kekacauan yang membuatku diserbu oleh kawanan berseragam putih kedokteran. Meletakkanku di atas kasur. Mengikat dengan sedikit sekali celah gerak, menempelkan alat tak kukenal di ujung lidah, memberi sentuhan listrik, dengan tekanan kestabilan pada kepalaku. Kulakukan ini seminggu kurang sehari selama sepuluh bulan.
Ketika kakakku mengunjungiku, aku tak mau menemuinya karena merasa sangat dan sangat bersalah telah membunuh suami kakakku. Aku tak mampu melihat wajah kakakku dan hanya ingin menyampaikan maaf melalui Putra. Hanya Putra orang yang kupercaya di dunia ini, karena semua orang melihatku sebagai orang gila, yang suka berbicara sendiri, memukul-mukul udara, dan melempar-lempar sesuatu bertebaran.
“Put, hanya kamu orang yang mengerti aku di sini. Tolong jangan beritahu kakakku kalau aku yang membunuh suaminya, dan juga buat semua orang di sini mengerti bahwa aku bukan seorang pembunuh seperti dugaan mereka.” Penuh gemetar aku bercerita pada Putra, wajahku sudah tak terurus, pucat, dan amburadul. Putra sangat mendengarku, seperti mengilhami, dan mengerti. Dengan sabar dia pun berkata padaku.
“Gustaf, kamu mengalami halusinasi akibat dari Paranoid yang kamu miliki. Kamu tak mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang tak nyata. Bayu sudah meninggal ketika dia mendonorkan ginjalny pada Winda.”
“Tidak… Tidak… Dia ada di sini. Setiap malam, menghantuhi pikiranku, selalu bercerita bagaimana dia menyetubuhi istriku. Kalau tidak percaya, kamu boleh tidur di sini bersama… bersama orang-orang ini.”
“Gustaf, kamu harus berusaha, obat-obat itu hanya mampu meredakan dan untuk menghilangkan halusinasimu kamu harus berusaha menghilangkan masa-masa lalumu yang kelam yang membuatmu takut.”
“Tetapi aku juga telah membunuh suami kakakku.”
“Bukan, suami kakakmu meninggal sudah sekitar dua tahun yang lalu, ada perampokan jiwa. Maksudnya, ada beberapa oknum yang tak menyukai suami kakakkmu dan membunuhnya dengan cara bersekongkol.”
“Tetapi rumah kakakku sama dengan rumah yang kubuat untuk membunuh polisi itu.”
“Gustaf… Gustaf… Semua rumah perumahan polisi hampir mirip semua. Ini datanya jika kamu belum percaya, semua data personil polisi yang meninggal beserta tahun kematiannya. Juga mengenai Bayu, ketika terakhir kali Bayu bertemu aku, dia hanya ingin menebus kesalahannya pada Winda dan dirimu. Maka dia berusaha membantu kalian, Bayu adalah pemilik resmi Jagad Fasty, memiliki berbagai cabang di banyak bidang, restoran, hotel, travel, pariwisata, serta kemampuannya juga membuat dia mendirikan Bay of Ed. Sebuah industry pendidikan yang menekankan pada ilmu logika dari SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi. Dia merekomendasikan pada semua restoran yang dimilikinya agar langsung menerima kamu dan Winda. Untuk membiayai kalian dan tentu saja anaknya. Akan tetapi, itu saja belum cukup menebus semua dosa yang ia lakukan pada Winda, maka untuk yang terakhir kali dia memutuskan untuk mendonorkan ginjalnya, dan… Diapun wafat setelah menyumbangkannya.”
“Apa kamu mengerti apa yang aku rasakan pada saat mengetahui bahwa Winda hamil?”
“Tentu aku tak mampu merasakan apa yang kamu rasakan, pasti jauh lebih berat dari sekedar yang kubayangkan. Hilangkan semua rasa trauma dulu, itu hanya akan memancing halusinasimu lagi, orang tuamu pasti akan bangga dan sudah bahagia di sana, serta maafkanlah Bayu. Minum obat ini sehari enam kali sehari, untuk menjaga kestabilan pikiran kamu.”
###
Aku sekarang tinggal bersama kakakku, dan Dimas. Dia masih kecil, sekitar tujuh tahun. Tepat ketika aku melihat orang tuaku meninggal dalam pembantaian keji itu. Aku diminta kakak untuk di rumah saja, tak ada aktifitas, hanya mencoba menulis cerpen. Dimas selalu pulang awal, dan aku hanya menyapanya, dia sepertinya tak mengerti akan sakitku. Hanya menulis, dan meminum pil, aku menjadi malas melakukan apapun, karena pikiranku terjaga untuk tidak bereksperimen dengan imajinasiku. Semua aku tuangkan langsung dalam ceritaku, agar tidak muncul halusinasi lagi.
Suatu hari, di mana hari libur sehari bagi Dimas, dia masuuk ke kamarku dan minta untuk diceritakan sesuatu. Kakakku juga masuk dan melihat kamarku yang berserakan akan kertas-kertas. Bertumpuk-tumpuk kertas. Kakak hanya tersenyum, melihat tulisanku, dan hanya bertanya.
“Ceritakan satu cerita untuk kita Gustaf.”
“Aku bingung harus memulai dari mana.”
“Sepertinya cerita ini sangat menarik, aku pinjam dulu Taf.”
Keesokan harinya kakakku memintaku untuk mengikuti ujian masuk menjadi dosen. Dia memintaku untuk mempresentasikan semua karya-karyaku, aku sangat tidak percaya diri tetapi kakakku memberi semangat dan mendorongku untuk cepat sembuh dengan beraktifitas. Aku bersedia, walau aku seperti tak layak menjadi seorang dosen. Aku terlalu pendiam untuk mengajar, dan itu kulakukan demi menghilangkan Bayu dari pikiranku.
Setelah ujian tulis kulalui, saatnya wawancara pun di mulai. Untuk memasuki dunia sastra aku tiap calon dosen harus mampu mempresentasikan karya sastra yang di buat. Beralasan dorongan kakakku yang memintaku untuk menggunakan cerpen “Kuning Langsat” sebagai karya yang harus aku presentasikan, aku melangkah denga sedikit gugup. Tak disangka dan tak ada nyana. Seorang teman lama, saingan terberatku, ada bukan sebagai teman, kawan atau bahkan lawan. Tetapi, lebih dari apa yang kuingat dulu. Dia ternyata seorang dosen dan sekarang sedang duduk bersama dosen yang lainnya yang sedang menghadapiku.
“Gustaf Wijaya, lama kita tak bertemu.” Aku hanya sedikit melihat dan tertunduk lagi.
“Tenang Gustaf, jangan gugup.”
Sekali lagi aku menoleh dan melihat-lihat sekitar. Adrenalinku terpacu, oleh kegugupan dan lebih dari kepanikan. Bayu tiba-tiba mendekatiku, mencoba untuk memberiku semangat. Kupukulkan map yang kupegang, menyapukannya dengan keras tepat ke arahnya. Semua penguji melihatku dengan penuh keheranan, termasuk Aripin.
“Pak Aripin, dan yang terhormat yang lainnya, bisa kita mengabaikan apa yang baru saja yang aku lakukan. Anggap itu hanya sebuah…sebuah intonasi dari sebuah ekspresi. Tak tersadar lebih pasti.” Semua terheran dan aku sangat beruntung Aripin sangat mengenalku.
“Aku terkesan, silakan Gustaf.”
Aku mampresentasikan karya “Kuning Langsat” dengan detail. Ketka sedang bercerita terkadang aku melihat Bayu, Winda, dan anak kecil. Tetapi aku lebih memilih mengabaikan mereka, karena aku merasa mereka tak ada. Presentasiku penuh dengan sanjungn, karena aku mempresentasikan dengan jelas, itu karena kuning langsat adalah kisah yang aku alami dengan Winda. Setelah semua selesai, aku ditemui Aripin.
***
“Apa itu tadi teman anda Profesor Aripin?”
“Ya Prof, aku sangat mengetahui kapasitasnya. Dia akan sangat memajukan jusrusan kita.”
“Aku mengerti, dari karyanya tadi aku sudah mengetahui kapasitasnya, akan tetapi… Apa dia mengalami gangguan psikologis? Dan kita tak bisa memperkerjakan dosen dengan gangguan psikologis seperti itu.”
“Aku mengerti maksud anda… Aku akan berbicara padanya.”
***
Setelah mendengar penjelasan itu aku sangat kecewa, aku hanya mampu berusaha dan tidak selalu menyusahkan kakakku. Sudah setahu sejak aku diperiksa Putra, dan pekerjaanku di restoran sudah tak ada. Aku mencoba memohon pada Aripin agar mau menempatkanku di manapun, agar aku mempunyai aktifitas dan tak membiarkan semua pikiranku terbang melayang entah kemana sehingga halusinasiku muncul lagi. Obat itu hanya menstabilkan dan tak mampu menyembuhkan. Aku sangat dan benar-benar memohon pada Aripin, aku juga bahkan menceritakan tentang gangguan yang aku alami. Aku tak butuh kantor, ataupun sarana. Bahkan tanpa bayaran aku bersedia. Aku hanya membutuhkan aktifitas dan interaksi.
“Baiklah…Kamu boleh di Divisi. Sebagai Pembina English in Written.”
Setiap hari aku bergulat di sana, bukan dengan manusia ataupun dengan hal yang lainnya. Aku hanya menulis dan menulis. Sehingga suatu hari ada seorang mahasiswa melihat karya-karyaku. Dia sangat terkesan, dan menanyakan beberapa hal. Akan tetapi aku sebelumnya menanyakan dengan jelas identitasnya karena kau takut halusinasiku sedang membuat karakter lain. Kita mengobrol banyak hal, aku hanya mampu memberi sedikit masukan. Mahasiswa yang bertanya semakin banyak, EIW semakin ramai, dan aku berinteraksi dengan banyak mahasiswa. Obat sudah habis, Putra datang dan memberi tetapi aku mencoba untuk tidak menurutinya. Aku tak mau menggunakan obat lagi karena itu membuat daya kreatifitasku menurun. Aku memaksa diriku berpikir bahwa ada hal-hal yang harus diperhatikan sebelum memutuskan itu nyata atau tidak.
“Taf ini obatmu.”
“Aku tak memakainya lagi.”
“Halusinasimu akan menguasiamu.”
“Aku mampu menjaganya agar selalu menghindar dan tak mendekat serta mempengaruhiku.”
“Apa kamu yakin? Ini bukan masalah mampu atau tidak! Ini lebih dari memahami apa yang kamu pahami. Apa yang kamu lihat belum tentu nyata dan apa yang kami lihat pasti nyata. Ini masalah pikiran”
“Aku mengerti, aku hanya berusaha. Melupakan semua kesedihan, paranoid, dan semua yang menekanku. Aku mencoba berpikir logis, apa itu harus kuhindari atau tidak.”
“Sudah berapa lama kamu tak meminum obat ini?”
“Sekitar dua minggu yang lalu.”
“Apa kamu melihat mereka?”
“Mereka selalu ada, Gustaf kecil berlarian dengan Bayu kecil. Bayu hanya melihatku, serta Winda yang selalu bersedih. Mereka selalu seperti itu.”
“Apa yang membuatmu yakin mereka tidak nyata?”
Apa yang aku ketahui, seperti hal ini harus aku ceritakan. Jika mereka tak melihat itu pasti tak nyata. Aku hanya ingin melihat mereka sesaat, karena jika lebih dari sesaat mereka akan mengatakan apa yang tak ingin aku dengar. Satu hal yang membuatku tak ingin menghiraukan mereka adalah, mereka tak mempunyai selera baju yang bagus. Pakaian yang mereka kenakan selalu sama, dan mereka pasti tak nyata. Dimanapun aku melangkah mereka selalu mengikuti, menghantui setiap jejak hidupku. Di rumah maupun Di Divisi, aku sangat bersyukur memiliki kakak, teman, dan mahasiswa yang mengerti keadaanku. Hari berganti hari, mereka selalu mencoba mendekatiku dan mengatakan sesuatu. Aku tak ingin menghiraukan, dan banyak juga mahasiswa yang tak mengenalku menganggapku sebagai pak tua yang gila. Tetapi aku hanya bersabar, sembari merokok aku beraktifitas sendiri. Terkadang, mengusir mereka dengan tongkat, bersepeda mengelilingi kampus beberapa kali dan sebagainya. Sampai suatu saat aku menjelaskan pada mereka.
“Adik Gustaf dan Adik Bayu, Aku juga ingin bermain dengan kalian, kalian sangat menyenangkan tetapi aku haru meninggalkan kalian. Kita tidak bisa bermain lagi. Aku mencintai kalian.” Kucium dan kupeluk mereka sembari mengucapkan selamat tinggal.
“Bayu, aku sudah tak ingin mencarimu lagi, kita adalah teman yang tak akan terpisah. Tetapi dunia kita sudah berbeda, dan aku harus melupakan hubungan kita di dunia.” Pelukanku padanya semoga akan membuatnya meninggalkanku.
“Dan Winda… Aku tak tahu harus mengatakan apa. Kita tak bisa berhubungan lagi, kita harus berpisah. Aku mencintaimu.” Ciumanku di keningnya akan meyakinkanku bahwa kita semua tak bisa bersama. Aku pergi meninggalkan mereka, semua anak di Divisi melihatku penuh dengan keheranan. Profesor aripin memberikanku surat panggilan dan memintaku untuk mempresentasikan sebuah novel agar aku dapat kembali di ajukan sebagai dosen.
“Bagaimana mereka? Aku sudah mendengar semua dari mahasiswamu dan juga kakakmu.”
“Siapa? Mereka? Mereka selalu ada, terkadang mengikuti, tetapi aku lebih memilih untuk mengabaikan mereaka. Mereka tak akan hilang karena mereka adalah bagian dari hidupku yang telah hilang di masa lalu.”
“Baguslah… Ngomong-ngomong kamu sudah sangat terlalu tua.”
“Bisa saja…Kamu juga.”
“Gustaf… Sebenarnya… Aku tak nyata.”
Sebuah pukulan aku layangkan di perutnya dan kita pun tertawa bersama. Kita berjalan sampai dia mengantarku di sebuah kelas teori sastra.
“Masuklah Pak Gustaf.”
Aku di antar masuk dan duduk di kursi dosen. Aku mengerti maksud dari ini dan aku mengajar dengan sangat kaku terkadang melucu. Itu adalah bagian dariku. Aku mencoba kembali bukan berarti mengulang, seperti itu hidup. Sulit memang tapi sulit adalah hal yang dapat diilakukan tetapi dengan cara yang tidak mungkin. Aku mulai menghindari kata tak mungkin karena itu hanya menumpulkan kemauanku untuk bergerak tak mundur,
Hidupku memang sederhana, tetapi dengan kesederhanaan yang aku alami, aku mulai mengerti mengapa aku hidup, untuk apa tuhan menciptakan aku dengan keadaan seperti ini. Tak mungkin tak ada sebab, karena sesuatu yang menciptakanku atau alam yang membentukku pasti lebih mengerti jika aku memang yang terbaik untuk diriku sendiri.
…END…